INFEKSI CACING TERMATODA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Trematoda
adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Pada umumnya
cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus Schistosoma. Pada
dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan
dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya.
Menurut lokasi berparasitnya cacing trematoda dikelompokkan sbagai berikut:
1)
Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium,
S. mansoni, S. japonicum
2)
Trematoda paru: Paragonimus westermani
3)
Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma
revolutum, E. ilocanum
4)
Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola
hepatica, F. gigantica.
1.2 Tujuan
Adapun tujan pembuatan makalah ini adalah
- Dapat mengetahui klasifikasi Trematoda
- Dapat mengetahui morfologi Trematoda
- Dapat mengetahui siklus hidup Trematoda
- Sebagai bahan pembelajaran PKPKR
BAB II
ISI
2.1 Pengertian
Cacing
trematoda banyak ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam,
Taiwan, India, dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, HETEROPHYIDAE di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi
Tengah.
a.
Morfologi dan Daur Hidup
Pada umumnya
bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetris bilateral, tidak
mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari
1mm sampai kurang lebih 75mm. tanda khas lainnya adalah terdapat 2 buah batil
isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut. Beberapa special mempunyai
batil isap genital. Saluran pencernaan enyerupai huruf Y terbalik yang dimulai
dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya trematoda tidak
mempunyai alat pernapasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran
ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan
saraf dimulai dengan ganglion di bagian dorsal esophagus, kemudian terdapat
seraf yang memanjang di bagian
dorsal,ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit dengan
alat reproduksi yang konpleks.
Cacing
dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitive. Telur diletakkan disaluran hati,
rongga usus, paru, pembuluh darah atau di jaringan tempat cacing hidup dan
telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisi
sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium ( M )
yang mempunyai bulu getar. Didalam air telur menetas bila sudah mengandung
mirasidium ( telur matang ). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur
berisi sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3
minggu. Pada beberapa spesies tremotoda telur matang menetas bila ditelan keong
( hospes peramtara ) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam keong; atau
telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang dalam air; dalam waktu 24
jam mirasidium harus sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan
perkembangannya. Keong air di sini berfungsi sebagai hospes perantara pertama (
HP 1 ). Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung
yang berisi embrio, yang di sebut sporokista ( S ). Spoprokista ini dapat
mengandung sporokista lain atau redia ( R );bentuknya berupa kantung yang sudah
mempunyai mulut, faring dan sekum. Didalam dompet sporokista II atau redia ( R
), larva berkembang menjadi serkaria ( SK ).
Perkembangan
larva alam hospes perantara I mungkin terjadi sebagai berikut :
M S R SK :
misalnya Clonorchis sinesis
M S1 S2 SK :
misalnya Schistosoma
M S R1 R2 SK
: misalnya trematoda
lainnya
Serkaria
kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yang berupa
ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu dan keong air lainnya, atau dapat
menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada Schitosoma. Dalam hospes perantara II serkaria berubah menjadi
metaserkaria yang berbebtuk kista. Hospes definitive mendapat infeksi bila
makan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak
dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi
dengan cara serkaria menembus kulit hospes
definitive yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang
menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.
b. Patologi dan
Gejala Klinis
Kelainan
yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing dalam tubuh
hospes; selain itu ada juga pengaruh rangsangan setempat dan zat toksin di
keluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin,
sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing
daun yang hidup di rongga usus biasanya tidak memberi gejala atau hanya gejala
gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila
cacing hidup dijaringan paru seperti Paragonimus,
mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah
(hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan
dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat menyebabkan penyumbatan aliran
empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan
hati sehigga terjadi hepatomegali. Cacing Schistosoma
yang hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan
kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis
jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus,
dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.
c. Diagnosis
dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, dahag, urin atau dalam jaringan
biopsi, dapat pula dengan reaksi serologi untuk membantu menegakan diagnosis.
Obat yang terbaik untuk mencegah cacing daun adalah prazikuantel (Biltricide, Distocide).
2.2 Jenis - Jenis
Termatoda
1.
Trematoda Hati (Clonorchis
sinensis)
Cacing ini
pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 disaluran empedu pada seorang
cina di kalkuta.hospes dari parasit ini adalah manusia, kucing, anjing, beruang
kutub dan babi. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah klonorkiasis.
Trematoda hati banyak di temukan di Cina, Jepang, Korea dan Vietnam. Penyakit
yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autokton.
a. Morfologi
dan Daur Hidup
Cacing
dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang di tetemukan di saluran pancreas.
Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai
daun. Telur berukuran kira-kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu
pijar dan berisi mirasidium, di temukan di saluran empedu.
Telur di
keluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air. Dalam keong air,
mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia lalu sarkaria. Serkaria keluar
dari air dan mencari hospes perantara II, yaitu ikan. Setelah menembus masuk
tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista didalam kulit
dibawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria.
Infeksi
terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang
matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk di dektus
koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa
dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama 3 bulan.
b. Patologi dan
Gejala Klinis
Sejak larva
masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan
iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat
terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih
lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang
mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat disaluran
empedu dan lamanya infeksi.
Gejala dapat
dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadum
progresif ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut terasa penuh, diare,
edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrum hipertensi
portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosi
hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati.
c. Diagnosis
dan Pengobatan
Diagnosis
ditegakan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam tinja atau dalam
cairan duodenum. Penyakit ini dapat diobati dengan parazikuantel.
2.
Trematoda Paru
Manusia dan
binatang yang memakan ketam/udang batu, seperti kucing, luak, anjing, harimau,
srigala dan lain-lain merupakan hospes cacing ini. Pada manusia parasit ini
menyebabkan paragonimiasis. Cacing ini banyak ditemukan di RRC, Taiwan, Korea,
Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand, India, Malaysia, Afrika dan Amerika Latin.
Di Indonesia ditemukan autokton pada binatang, sedangkan pada manusi hanya
sebagai kasus inpor saja.
a.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing
dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji kopi
dengan ukuran 8-12 x 4-6 mm dan berwarna coklat tua. Batil isap mulut hamper
sama besa dengan batil isap perut. Testis berlobus terletak berdampingan antara
antara basil isap perut dan ekor. Ovarium terletak di belakang batil isap
perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80-118 mikron x 40-60 mikron dengan
operculum agak tertekan kedalam. Waktu keluar bersama tinja atau sputum,
telurnya belum berisi mirasidium.
Serkaria
keluardari keong air, berenang mencari hospes perantara II yaitu ketam atau
udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Infeksi terjadi
dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.
Dalam hospes
defenitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa
muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus
diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan
sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor di
dalamnya.
b.
Patologi dan Gejala Klinis
Karena
cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala di mulai dengan adanya
batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk dara. Keadaan ini disebut endemic hemoptysis. Cacing dewasa dapat
pula bermigrasi kea lat-alat lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut
(antara lain hati, limpa, otak, otot, dinding usus).
c.
Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura. Kadang-kadang
telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakan
diagnosis. Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan yang baik untuk
menanggulangi cacing ini.
3.
Trematoda Usus
Macam-macam spesies Trematoda usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan
Gastrodiscus. F. buski adalah suatu trematoda yang didapat pada manusia atau
hewan yang mempunyai ukuran terbesar diantara trematoda lainnya. Cacing Hypoderaeum adalah cacing trematoda kecil hanya kurang
lebih beberapa millimeter. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan
lain seperti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes
reservoar.
a.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing F. buski yang ditemukan
pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5 cm dan lebar 0.8-2,0 cm. bentuknya
agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang
letaknya melintang. Cacing Hypoderaeum berukuran panjang antara 1-1.7 mm dan lebar
antara 0,3-0,75 mm,keculai genus haplorcis
yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-0,3 mm. di
samping batil isap perut, ciri-ciri khas yang lain adalah batil isap kelamin
yang terdapat di sebelah kirai belakang.
Siklus hidup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes
perantara II (keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan
M.yokogawai).
b.
Patologi dan Gejala Klinis
Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh
perlekatan cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran
cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung
jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan
pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat
terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema.
c.
Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Bila
bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dalam tinja
penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetrakloretilen,
heksilresorsinol, dan praziquantel.
4.
Trematoda Darah
Pada manusia
ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma
japonicum, Schistosoma mansomi dan
Schistosoma haematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih
banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi
manusia. Hospes definitifnya adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat
berperan sebagai hospes reservoir. Pada manusia, cacing ini menyebabkan
penyakit skitosomiasis atau bilharziasis.
a.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing
dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5 – 19.5
mm x 0.9 mm. Badannya berbentuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tojolan
halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat Canalis gynaecophorus, tempat cacing
betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing
jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0 – 26,0
mm x 0.3 mm. Pada umumnya uterus berisi 50- 300 butir telur. Cacing trematoda
ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat
permukaan selaput lender usus atau kandung kemih.
Cacing
betina meletakan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur Cacing Schistosoma mempunyai duri dan liaklisasi duri tergantung pada
spesiesnya. Telur berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus
keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen
usus atau kandung kemih untuk kemudian di dalam tinja atau urin. Telu menetas
di dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing ini
hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak terdapat
hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan
berkembang menjadi sprokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan
serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing schistosoma. Cara infeksi pada manusia
adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masyk ke dalam air yang
mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit.
Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masu ke dalam kapiler
darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan
kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistim peredaran darah besar, ke
cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini
kembali ke vena portae dan vena usus atau kandung kemih dan kemudian cacing
betina bertelur setelah berkopulasi.
b.
Patologi dan Gejala Klinis
Perubahan-perubahan
yang terjadi disebabkan oleh 3 stdium cacing ini yaitu serkaria, cacing dewasa
dan telur. Perubahan-perubahan pada schistosomiasis dapat dapat ibagi dalam
tiga stadium:
Ø Masa tunas
biologik
Waktu antara
serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas biologic.
Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan vapula yang disertai perasaan
gatal dan panas. Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, maka akan terjadi
dermatitis. Biasanya kelainan kulit hilang dalam waktu 2 atau 3 hari
Ø Stadium akut
Stadium ini
dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakan di dalam pembuluh
darah dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan
akhirnya dapat mencapai lumen dengan cara menembus mukosa, biasanya mukosa
usus. Efek patologis maupun gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari
jumlah telur yang dikeluarkan, yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing
betina.
Ø Stadium
menahun
Pada stadium
ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau
vibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengalami
pengecilan karena terjadi vibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada
schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal, yang
mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam
jaringan hati.
c.
Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, urin atau jaringan biopsi. Reaksi
serologi dapat membantu menegaka diagnosis. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
obat-obat anti Schistosoma tidak ada
yang aman atau agak toxik dan semuanya mempunyai resiko masing-masing.
Sperti telah
diketahui cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterika manusia dan binatang.
Pengaruh obat anti Schistosoma dapat
menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah dan
mengakibatkan tersapunya cacing tersebut ke dalam hati oleh sirkulasi portal,
keadaan ini disebut Hepatic shift.
Ada beberapa
obat yang mempengaruhi cacing dewasa ini menghambat sistim enzim tertentu,
seperti persenyawaan antimon trivalen yang menghambat sistim enzim
fosfofruktokinase S. mansoni,
sehingga cacing tersebut tidak dapat memanfaatkan glikogen.
BAB III
KESIMPULAN
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing
ini memiliki alat pengisap. Alat pengisap terdapat pada mulut di bagian
anterior tubuhnya. Kegunaan alat isap adalah untuk menempel pada tubuh
inangnya. Pada saat menempel cacing ini mengisap makanan berupa jaringan atau
cairan tubuh inangnya. Dengan demikian, Trematoda merupakan hewan parasit.
Cacing trematoda paru dewasa hidup dalam kista di
paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8-12x 4-6mm
dan berwarna coklat tua.
Cacing trematoda darah dewasa jantan berwarna kelabu
atau putih kehitamhitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk
gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar,
tergabtung spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, srisasi Prof.dr. dkk (ed). Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga,
2002. balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar